BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Labioschisis
adalah adanya gangguan fusi maxillary swelling dengan medial nasal swelling pada
satu sisi akan menimbulkan kelaianan berupa labioschisis unilateral. Bila
kegagalan fusi ini menimbulkan celah di daerah prealveolaris, maka celah
tersebut dikatakan inkomplet, sedang selebihnya dikatakan labioschisis
komplet.
Celah bibir
adalah kelainan kongenital pada bibir yang disebabkan oleh kegagalan struktur
fasial embrionik yang tidak komplet, kelainan ini dapat diasosiasikan dengan
anomali lain juga. Insidensi kalainan ini adalah 1 di antara 750 kelahiran
hidup. Celah bibir, lebih sering terjadi pada anak laki-laki, dapat muncul
berupa indentasi ringan hingga celah terbuka. (Kathleen Morgan Speer. 2007).
B.
Etiologi
Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing. faktor tersebut antara
lain, yaitu :
a.
Faktor Genetik atau keturunan
Dimana
material genetik dalam kromosom yang mempengaruhi. Dimana dapat terjadi karena
adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel yang normal
mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom non-sex (kromosom 1
s/d 22) dan 1 pasang kromosom sex (kromosom X dan Y) yang menentukan jenis
kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau
dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total
kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain
menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada perkembangan
otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan
frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
b.
Kurang Nutrisi, contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekurangan asam folat.
c.
Radiasi.
d.
Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.
e.
Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi
rubella dan sifilis, toxoplasmosis dan klamidia.
f.
Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat
toksisitas selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin.
g.
Multifaktoral dan mutasi genetik.
h.
Diplasia ektodermal.
C.
Patofisiologi
Secara umum, labioschisis bisa
terjadi karena :
a.
Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama
fase embrio pada trimester I.
b.
Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
c.
Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
d.
Penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan.
D. Klasifikasi
1. Berdasarkan organ yang terlibat
a.
Celah di bibir (labioskizis)
b.
Celah di gusi (gnatoskizis)
c.
Celah di langit (palatoskizis)
d. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjdi di bibir dan
langit-langit (labiopalatoskizis)
2. Berdasarkan
lengkap/tidaknya celah terbentuk
Tingkat kelainan bibr sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga
yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui adalah :
a. Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi
bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
b. Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu
sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
c. Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir
dan memanjang hingga ke hidung.
Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan
ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi
faktor genetik dan factor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian
barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat
keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis.
Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila
keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin
(terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita
diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis.
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:
a.
Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama
masa embrional dalam hal kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan
kualitas (defisiensi asam folat, vitamin C, dan Zn)
b.
Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan
kontrasepsi hormonal
c.
Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
d.
Faktor genetic
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali.
Pada hewan percobaan vitamin A dikenal sebagai "teratogen
universal". Namun kemungkinan teratogenitas pada manusia yang mengkonsumsi
suplemen vitamin A masih kontroversi.
Vitamin B-6 memiliki peran vital dalam metabolisme asam amino.
Defisiensi vitamin B-6 tunggal telah terbukti dapat menyebabkan langit-langit
mulut sumbing dan kelainan defek lahior lainnya pada tikus percobaan. Dan
Miller (1972) menunjukkan bahwa pemberian vitamin B-6 dapat mencegah terjadinya
celah orofasial. Salah satu penyebab terjadinya celah orofasial ialah
heterogenitas, sebanyak sekitar 20% menyertai sindrom yang disebabkan mutasi
yang spesifik. Namun juga terjadinya celah orofasil juga berhubungan dengan
asam folat dan multivitamin lainnya. Beberapa mungkin memiliki etiologi karena
asam folat namun sebagian lagi tidak, sehingga menyulitkan untuk mencari
efeknya.
D.
Manifestasi
Klinis
Ada beberapa
gejala dari bibir sumbing / labioschisis yaitu :
a.
Terjadi pemisahan bibir.
b.
Berat badan tidak bertambah.
c.
Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui
yaitu keluarnya air susu dari hidung.
d.
Kesukaran
dalam menghisap/makan
e.
Distorsi
pada hidung
f.
Tampak sebagian atau keduanya
g.
Adanya celah pada bibir
E.
Komplikasi
Keadaan
kelainan pada wajah seperti bibir sumbing ada beberapa komplikasi karenannya, yaitu
:
a.
Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis.
Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada
payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis
mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang
ditemukan adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis
tidak sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat
menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses
menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga dapat membantu.
Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum
biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya
membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat
keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan
labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan
tertentu.
b.
Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada
arean dari celah bibir yang terbentuk.
c.
Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga
karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
d.
Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas
pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak
dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara
dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun
telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali
sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian
karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama
berbicara udara keluar dari hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan
untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch",
dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu.
F.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan prabedah rutin (misalnya hitung darah lengkap
2. Pemeriksaan Diagnosis
a. Foto Rontgen
b. Pemeriksaan
fisik
c. MRI(Magnetic resonance imaging) untuk evaluasi abnormal
G. Penatalaksanaan
Penanganan
untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Operasi ini dilakukan setelah
bayi berusia 2 bulan, dengan berat badan yang meningkat, dan bebas dari infeksi
oral pada saluran napas dan sistemik. Dalam beberapa buku dikatakan juga untuk
melakukan operasi bibir sumbing dilakukan hukum Sepuluh (rules of Ten)yaitu,
Berat badan bayi minimal 10 pon, Kadar Hb 10 g%, dan usianya minimal 10 minggu
dan kadar leukosit minimal 10.000/ui.
Perawatan
a.
Menyusu ibu
Menyusu
adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan bibir sumbing
tidak menghambat penghisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba sedikit menekan
payudara untuk mengeluarkan susu. Dapat juga menggunakan pompa payudara untuk
mengeluarkan susu dan memberikannya kepada bayi dengan menggunakan botol
setelah dioperasi, karena bayi tidak menyusu sampai 6 mgg.
b.
Menggunakan alat khusus :
-
Dot domba
Karena udara
bocor disekitar sumbing dan makanan dimuntahkan melalui hidung, bayi tersebut
lebih baik diberi makan dengan dot yang diberi pegangan yang menutupi sumbing,
suatu dot domba (dot yang besar, ujung halus dengan lubang besar), atau hanya
dot biasa dengan lubang besar.
-
Botol peras
Dengan
memeras botol, maka susu dapat didorong jatuh di bagian belakang mulut hingga
dapat dihisap bayi.
-
Ortodonsi
Pemberian
plat/ dibuat okulator untuk menutup sementara celah palatum agar memudahkan
pemberian minum dan sekaligus mengurangi deformitas palatum sebelum dapat
dilakukan tindakan bedah definitive.
c.
Posisi mendekati duduk dengan aliran yang langsung menuju bagian sisi atau
belakang lidah bayi.
d.
Tepuk-tepuk punggung bayi berkali-kali karena cenderung untuk menelan banyak
udara.
e.
Periksalah bagian bawah hidung dengan teratur, kadang-kadang luka terbentuk
pada bagian pemisah lobang hidung.
f.
Suatu kondisi yang sangat sakit dapat membuat bayi menolak menyusu. Jika hal
ini terjadi arahkan dot ke bagian sisi mulut untuk memberikan kesempatan pada
kulit yang lembut tersebut untuk sembuh.
g.
Setelah siap menyusu, perlahan-lahan bersihkan daerah sumbing dengan alat
berujung kapas yang dicelupkan dala hydrogen peroksida setengah kuat atau air.
Pengobatan
a.
Dilakukan bedah elektif yang melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan
selanjutnya. Bayi akan memperoleh operasi untuk memperbaiki kelainan, tetapi
waktu yang tepat untuk operasi tersebut bervariasi.
b.
Tindakan pertama dikerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule
often yaitu umur > 10 mgg, BB > 10 pon/ 5 Kg, Hb > 10 gr/dl, leukosit
> 10.000/ui.
c.
Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langitan/palatoplasti dikerjakan
sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mampu bicara lengkap seingga pusat
bicara otak belum membentuk cara bicara. Pada umur 8-9 tahun dilaksanakan
tindakan operasi penambahan tulang pada celah alveolus/maxilla untuk
memungkinkan ahli ortodensi mengatur pertumbuhan gigi dikanan dan kiri celah
supaya normal.
d.
Operasi terakhir pada usia 15-17 tahun dikerjakan setelah pertumbuhan
tulang-tulang muka mendeteksi selesai.
e.
Operasi mungkin tidak dapat dilakukan jika anak memiliki “kerusakan horseshoe”
yang lebar. Dalam hal ini, suatu kontur seperti balon bicara ditempl pada
bagian belakang gigi geligi menutupi nasofaring dan membantu anak bicara yang
lebih baik.
f. Anak
tersebut juga membutuhkan terapi bicara, karena langit-langit sangat penting
untuk pembentukan bicara, perubahan struktur, juga pada sumbing yang telah
diperbaiki, dapat mempengaruhi pola bicara secara permanen.
H. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.
Asuhan Keperawatan
Kasus:
Ny.
A datang ke rumah sakit dengan anaknya bernama An. B yang berumur 2 bulan dengan keluhan terdapat
belahan pada bibir yang menyebabkan bayi
susah untuk menelan dan menyusu. Pasien terlihat kurus karena berkurang
nafsu makan.
Data
Subjektif :
-
Terdapat belahan pada bibir
-
Klien susah menelan dan menyusu
-
Nafsu makan klien berkurang
Data
Objektif :
-
Diagnosa ditegakkan yaitu Labioskizis
-
Klien tampak kurus karena kurang nafsu
makan
-
Konjungtiva Anemis
2. DIAGNOSA KEPERWATAN
a. Prabedah
1) Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
gangguan dalam pemberian makan
2) Risiko perubahan klien yang
berhubungan dengan stres akibat hospitalisasi
3) Ansietas (orang tua) yang berhubungan dengan pembedahan
b. Post-bedah
1) Ketidakefektifan jalan napas yang berhubungan dengan efek anestesia, edema
pascaoperasi, serta produksi lendir yang berlebihan
2) Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
teknik pemberian makan yang baru dan perubahan diet pascaoperasi
3) Nyeri yang berhubungan dengan pembedahan
4) Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di rumah
Analisa Data
No.
|
Data, Tanda dan Gejala
|
Masalah
|
Etiologi
|
1.
|
DS : -keluarga kalien mengatakan bahwa berat badan
klien menurun
DO : - Klien tampak lemah
-
Klien terlihat kurang nafsu makan
-
Klien tampak kurus
|
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
definisi : keadaan
individu yang mengalami kekurangan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
metabolik.
|
kesulitan menelan
sulit makan
nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
|
2.
|
DS : -keluarga klien mengatakan bahwa seperti terjadi
infeksi pada bagian belahan bibir.
DO :
|
Resiko Infeksi
Definisi : suatu kondisi
individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik.
|
Pertahanan tubuh yang
tidak adekuat
|
DiagnosisKeperawatan
No
|
DiagnosisKeperawatan
|
Tgl
masalah timbul
|
Tgl
masalah teratasi
|
1
|
Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan sulit untuk makan/kurang nafsu
makan yang ditandai dengan :
DS : -keluarga kalien mengatakan bahwa berat badan
klien menurun
DO : -klien tampak lemah
-
Klien terlihat kurang nafsu
makan.
|
15-09-2012
|
-
|
2
|
Resiko
infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang tidak adekuat.
|
15-09-2012
|
-
|
1. INTERVENSI
Pra-Bedah
No
Dx
|
Tujuan dan Kriteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan berat badan seimbang dengan kriteria hasil :
Bayi mempertahankan status nutrisi yang ditandai oleh kenaikan berat
badan bulanan (1/2 hingga 1 kg)
|
Tempatkan dot
botol di dalam mulut bayi, pada sisi berlawanan dari celah, ke arah belakang
lidah.
Posisikan
bayi tegak atau semi-Fowler, namun tetap rileks selama pemberian makan.
Serdawakan
bayi setelah setiap pemberian 15 hingga 30 ml susu, tetapi jangan pindahkan
dot botol terlalu sering selama pemberian makan.
Coba untuk
memberi makan selama kira-kira 45 menit atau kurang untuk setiap kali makan.
Apabila bayi
tidak makan tanpa tersedak atau teraspirasi, letakkan dalam posisi tegak, dan
beri makan dengan menggunakan spuit serta slang karet lunak.
|
Meletakkan dot botol dengan cara ini dapat menstimulasi tindakan ” stripping” bayi (menekan dot botol
melawan lidah dan atap mulut untuk mengeluarkan susu).
Posisi ini mencegah tersedak dan regurgitasi per nasal.
Bayi perlu disendawakan dengan frekuansi yang sering karena kelainan
tersebut dapat menyebabkan menelan udara lebih banyak sehingga menimbulkan
rasa tidak nyaman. Melepas dot botol terlalu sering dapat melelahkan, atau
membuat bayi frustasi sehingga menyebabkan pemberian makan tidak komplet.
Pemberian makan yang lebih lama dapat melelahkan bayi sehingga dapat
menyebabkan pencapaian berat badan yang sangat kurang.
Posisi tegak mengurangi risiko aspirasi; menggunakan sebuah spuit dan
slang karet lunak yang mampu menampung cairan di bagian belakang mulut bayi
dapat mengurangi aspirasi melalui celah.
|
2
|
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 4x24 jam
diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil :
Bayi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi yang ditandai oleh suhu tubuh
kurang dari 37,80 C dan tidak ada tanda-tanda draynase telinga,
batuk, ronchi kasar di lapangan paru, atau iritabilitas
|
Beri minum
bayi sebanyak 5-10 ml air, setelah setisp pemberian makan.
Buang formula
atau susu yang mengering dengan menggunakan aplikator yang berujung kapas
basah.
Setelah
setiap pemberian makan, letakkan bayi di ayunan bayi atau baringkan bayi di
tempat tidurnya dengan posisi miring kanan dengan kepala tempat tidur
ditinggikan 300.
Kaji bayi
untuk menentukan bila ada tanda infeksi, termasuk drainase telinga yang
berbau dan demam. Beri obat antibiotik sesuai program.
|
Air dapat membersihkan pasase nasal dan palatu, serta dapat mencegah susu
mengumpul di saluran eustasia, yang pada gilirannya dapat mencegah
pertumbuhan bakteri yang dapat mengarah pada terjadinya infeksi.
Merontokkan dan melepaskan matero yang berkerak dalam botol, dapat
menjaga agar celah tersebut bersih dan bebas dari bakteri sehingga mengurangi
risiko infeksi.
Mengatur posisi bayi dengan cara ini dapat mencegah aspirasi yang dapat
menimbulkan pneumonia.
Kekambuhan otitis media yang terjadi akibat saluran eustasia yang tidak
normal dapat dikaitkan dengan celah bibir.
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Labioskisis/Celah
bibir adalah kelainan kongenital pada bibir yang disebabkan oleh kegagalan
struktur fasial embrionik yang tidak komplet.
Faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing adalah Faktor Genetik atau
keturunan, Kurang Nutrisi, Radiasi, Terjadi trauma pada kehamilan trimester
pertama, Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti
infeksi rubella dan sifilis, toxoplasmosis dan klamidia, Pengaruh obat
teratogen, Multifaktoral dan mutasi genetik, Diplasia ektodermal.
Beberapa gejala dari bibir sumbing / labioschisis yaitu Terjadi pemisahan
bibiR, Berat badan tidak bertambah, Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika
menyusui yaitu keluarnya air susu dari hidung, kesukaran dalam menghisap/makan, kistorsi pada hidung, tampak
sebagian atau keduanya, adanya celah pada bibir.
B. Saran
Semoga makalah yang kami sajikan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat di aplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari kritik dan saran dari teman-teman sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, E., Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.EGC : Jakarta.
Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pedriatik. Jakarta ; EEC.
Hall and Guyton, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC : Jakarta.
Noer Sjaifullah H. M, 1999, Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, FKUI, Jakarta.
Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan
Anak. Jakarta : Salemba Medika.
Nelson. 1993. Ilmu Kesehatan Anak bagian 2. Jakarta;
Fajar Interpratama.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EEC.
Smeltzer C. Suzanne, Bare G. Brendo, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, vol. 3, EGC :
Jakarta.
Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC
Wilkinson, J.M, 2007. Buku Saku
Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta.
Wong, Dona L.2004. Pedoman Klinis
Keperawatan Pedriatik. Jakarta : EEC.
0 komentar:
Posting Komentar