BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Colitis Ulceratif (Colitis ulcerosa, UC) adalah
suatu bentuk penyakit
radang usus (IBD). Ulcerative colitis adalah
suatu bentuk radang usus besar, suatu penyakit dari usus, khususnya
usus besar, yang meliputi karakteristik bisul, atau luka
terbuka, di dalam usus. Gejala utama penyakit aktif biasanya konstan diare bercampur
darah, dari onset gradual. Kolitis ulseratif ,biasanya diyakini memiliki sistemik etiologi yang
mengarah ke banyak gejala di luar usus. Karena nama, IBD sering bingung dengan sindrom iritasi usus besar ( “IBS”),
yang merepotkan, tapi kurang serius, kondisi. Kolitis ulseratif memiliki
kemiripan dengan penyakit Crohn, bentuk lain
dari IBD. Kolitis ulseratif adalah penyakit hilang timbul, dengan gejala
diperburuk periode, dan periode yang relatif gejala-bebas. Meskipun gejala
kolitis ulserativa kadang-kadang dapat berkurang pada mereka sendiri, penyakit
biasanya membutuhkan perawatan untuk masuk ke remisi.
Colitis
ulseratif terjadi pada 35-100 orang untuk setiap
100.000 di Amerika Serikat, atau kurang dari 0,1% dari populasi. Penyakit ini
cenderung lebih umum di daerah utara. Meskipun kolitis ulserativa tidak
diketahui penyebabnya, diduga ada genetik kerentanan
komponen. Penyakit ini dapat dipicu pada orang yang rentan oleh faktor-faktor
lingkungan. Meskipun modifikasi diet dapat mengurangi ketidaknyamanan seseorang
dengan penyakit, kolitis ulserativa tidak diduga disebabkan oleh faktor-faktor
diet. Meskipun kolitis ulserativa diperlakukan seolah-olah itu merupakan penyakit
autoimun, tidak ada konsensus bahwa itu adalah seperti itu.
Pengobatannya dengan obat anti-peradangan, kekebalan, dan terapi biologis penargetan
komponen spesifik dari respon kekebalan. Colectomy (parsial
atau total pengangkatan melalui pembedahan usus besar) yang kadang-kadang
diperlukan, dan dianggap sebagai obat untuk penyakit.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas maka penulis dat membuat rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1. Apa
Pengertian dari Colitis ulseratif ?
2. Apa
Etiologi dari Colitis ulseratif ?
3. Bagaimanakah
patofisiologis pada Colitis ulseratif ?
4. Bagaimana
pengkajian dari kolitis ulseratif?
5. Bagaimana
pengkajian penatalaksanaan medis dari kolitis ulsertif ?
6. Apa
saja diagnosa yang diangkat dari penyakit kolitis ulseratif ?
7. Apa saja
rencana keperawatan dalam kolitis ulseratif ?
8. Evaluasi !
1.3 Tujuan
Tujuan umum penulisan
makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas pencernaan 2 yang
berjudu ”COLITIS ULSERATIF”. Tujuan
khusus penulisan makalah ini adalah menjawab pertanyaan yang telah dijabarkan
pada rumusan masalah agar penulis ataupun pembaca tentang konsep skoliosis
serta proses keperawatan dan pengkajiannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Colitis
Ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik yang terjadi pada usus
besar, khususnya bagian kolon desenden sampai rectum.
B. Etiologi
dan Patogenesis
Penyebab
dari colitis ulseratif sangat beragam, meliputi penomena autoimun, faktor
genetic, perokok pasif, diet, pascaapendektomi, dan infeksi.
Pada
penomena yang diperentarai respon imun, terdapat kelainan humoral dan imunitas
yang diperentarai sel dan/atau reaktivitas umum terhadap antigen bakteri usus.
Hilangnya toleransi terhadap flora usus normal diyakini merupakan peristiwa
utama dalam patogenesis penyakit inflamasi usus. Faktor kerentanan genetic (
kromosom 12 dan 16) adalah faktor yang dikaitkan dengan colitis ulseratif. Perokok pasif dikaitkan dengan colitis ulseratif,
sedangkan perokok justru lebih rendah untuk terjadi colitis ulseratif. Faktor
komsumsi makanan, khususnya yang tebuat dari susu dapat mengeksaserbasi ( meningkatkan ) respons penyakit.
Pascaapendektomi mempunyai asosiasi negatif dengan colitis ulseratif. Infeksi
tertentu telah terlibat dalam penyakit inflamasi usus, misalnya campak, infeksi
mikrobakteri atipikal.
C. Patofisiologi
Colitis
ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan pembentukan
abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa
mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon
juga terpengaruh.
Kolitis
akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksis, yang
ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usus-usus
besar yang memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan
pembentukkan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis
dan berat juga dihubungkan dengan resiko peningkatan prekanker kolon, yaitu
berupa karsinoma in situ atau dispalsia. Secara anatomis sebagian besar kasus
melibatkan rectum; beberapa pasien juga mengalami mengembangkan ileitis
terminal disebabkan oleh katup ileocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini,
sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh.
Contoh gambar penyakit kolitis ulseratif:
Selanjutnya
terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat, yaitu meliputi hal-hal
sebagai berikut.
1. Akumulasi
sel T di dalam lamina propia dari segmen kolon yang mengalami peradangan. Pada
pasien dengan ulseratif colitis, ini adalah sel T sitotoksik ke epitel kolon.
Perubahan ini disertai dengan peningkatan populasi sel B dan sel plasma, dengan
peningkatan produksi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin E (IgE).
2. Biopsi
sampel kolon dari pasien dengan colitis ulseratif dapat menunjukkan peningkatan
secara signifikan tingkat platelet-activating
factor (PAF). Pelepasan PAF dirangsang oleh leukotrienes, endotoksin, atau
faktor lain yang mungkin bertanggung jawab atas peradangan mukosa, namun proses
ini tidak jelas.
3. Antibody
antikolonik telah terdektesi pada pasien dengan ulseratif colitis.
Respons awal colitis ulseratif adalah edema yang
berlanjut pada terbentuknya jaringan perut dan pembentukkan ulkus disertai adanya
perdarahan. Lesi berlanjut, yang terjadi secara bergiliran, satu lesi diikuti
oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rectum dan akhirnya dapat
mengenai saluran
kolon. Pada kondisi ini, penipisan dinding usus atau ketebalan normal, tetapi
dengan adanya respons inflamasi local yaitu edema, serta akumulasi lemak dan
hipertrofi dari lapisan otot dapat memberikan kesan dinding usus menebal
sehingga memberikan manifestasi penyempitan lumen usus dan terjadi pemendekan
dari usus.
Perubahan peradangan secara mikrokopis jaringan yang
mengalami ulkus segera ditutupi oleh jaringan granulasi yang selanjutnya akan
merusak mukosa dan akan terbentuk jaringan polypoidal
atau yang dikenal sebagai polip atau peradangan pseudopolip.
D. Pengkajian
Pengkajian
colitis ulseratif terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
evaluasi diagnosis. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah
nyeri abdomen, diare, tenesmus intermiten, dan pendarahan rektal.
Keluhan
nyeri biasanya bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran
periumbilikal kiri bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin
sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah BAB. Diare biasanye disertai
darah. Pasien melaporkan mengeluarkan feses cair 10 – 20 kali sehari. Pasien juga mengeluh
saat BAB seperti ada yang menghalangi.
Pada
pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena colitis ulseratif
adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang paling umum adalah
pendarahan anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi colitis ulseratif berat
terjadi pada sekitar 10 % dari pasien,
didapat keluhan lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual,
muntah, anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan colitis yang parah dapart mengalami komplikasi yang yang
mengancam nyawa, termasuk pendarahan darah,
megakolon toksik atau perforasi usus.
Riwayat
penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan
kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetic,
lingkungan, infeksi, imunitas, makanan dan merokok perlu di dokumentasikan.
Anamnesis penyakit sistemik , seperti DM, hipertensi, dan tuberkolosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian proferatif.
Pengkajian
sikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan
rencana pembedahan serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
Temuan
pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada sejauh mana, durasi, dan
tingkat keparahan penyakit.pemeriksaan fisik yang di dapatkan sesuai
manifestasi klinik yang muncul. Pada colitis ulseratif berat survey umum pasien
terlihat lemah dan kesakitan, TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan
diare . suhun badan pasien akan naik ≥38,50
C dan terjadi takikardiah. Pengkajian berat badan yang disesuaikan dengan
tinggi badan dapat menimbulkan status
nutrisi.
Pada pemeriksaan fisik focus akan didapatkan :
1. Takipnea
dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme kompensasi asidosi
dalam kasus dehidrasi parah.
2. Takikardial
dapat mewakili anemia atau hipopolemia. Turgor kulit >3 detik menandakan
gejala dehidrasi.
3. Perubahan
tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan perfusi ke otak. Pasien dengan
episkleritis dapat hadir dengan erythematous yang menyakitkan mata.
4. Oliguria
dan anuria pada dehidrasi berat.
5. Inspeksi :kram abdomen di dapatkan. Perut didapatkan
kembung. Pada kondisi kronis, status nutrisi bisa didapatkan
tanda-tanda kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien terlihat kronis.
Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit parah
dan kemungkinan perforasi. Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran kanan bawah.
Sebuah masa dapat teraba menunjukkan abstruksi atau megakolon. Pembesaran limpa
mungkin menunjukkan hipertensi portal dari hepatitis autoimun terkait atau
kolangitis sklerosis.
Perkusi : nyeri ketuk dan timpani akibat adanya flatulen.
Auskultasi : bising usus bisa normal, hi[eraktif atau
hipoaktif. Nada gemerincing bernada tinggi dapat ditemukan dalam kasus-kasus
obstruksi.
6. Kelemahan
fisik umum skunder dari keletihan dan pemakaian energy setelah nyeri dan diare.
Nyeri sendi (arthralgia) adalah gejala umum yang ditemukan pada penyakit
inflamasi usus. Sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan
tangan, dan siku, yang paling sering terlibat, tetapi setiap sendi dapat
terlibat. Pada integumen, kulit pucat mungkin mengungkapkan anemia, penurunan
turgor kulit dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat terlihat pada
permukaan ekstensor.
Pengkajian pemeriksaan diagnostic terdiri atas
pemeriksaan laboratorium, radiografik, dan endoskopik.
1. Pemeriksaan
laboratorium (Wu, 2009)
Temukan pada
pemeriksaan laboratorium dalam evaluasi colitis ulseratif mungkin menunjukkan
tanda-tanda berikut.
a. Anemia
( yaitu hemoglobin < 14 g/dL pada pria dan < 12 g/dL pada wanita).
b. Trombositosis
( yaitu platetet > 350.000/µL).
c. Peningkatan
tingkat sedimentasi ( variable referensi rentang, biasanya 0-33 mm/jam) dan
peningkatan C-reactiv protein ( yaitu
>100 mg/L). kedua temuan ini berkolerasi dengan aktivitas penyakit.
d. Hipoalbuminemia
( yaitu albumin < 3,5 g/dl).
e. Hipokalemia
( yaitu kalium < 3,5 mEq/dL).
f. Hipomagnesemia
( yaitu magnesium < 1,5 mg/dL).
g. Peningkatan
alkalin fosfatase; lebih dari 125 U/L menunjukkan kolangitis sclerosing primer
( biasanya > 3 kali batas atas dari kisaran referensi).
h. Pada
diagnosis colitis ulseratif kronis, pemeriksaan feses yang cermat dilakukan
untuk membedakan dengan disentri yang disebabkan oleh organisme usus umum,
khususnya Entamoeba histolytica. Feses positif terhadap darah.
2. Pemeriksaan
radioaktif
a. Foto
polos abdomen
Sinar rontgen mungkin menunjukkan
dilatasi kolon, dalam kasus yang parah bisa mengakolon toksik. Selain itu,
bukti perforasi, atau ileus juga dapat diamati (Khan, 2009)
b. Studi
kontras barium
barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus (Carucci, 2002)
barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus (Carucci, 2002)
c. CT
Scan.
secara umum CT scan memainkan peran kecil dalam diagnosis colitis ulseratif. CT ulseratif scan dapat menunjukan penebalan dinding kolon dan dilatasi bilier primer kolangitis skleorosis.
secara umum CT scan memainkan peran kecil dalam diagnosis colitis ulseratif. CT ulseratif scan dapat menunjukan penebalan dinding kolon dan dilatasi bilier primer kolangitis skleorosis.
3. Prosedur
endoskopi
Endoskopi dapat menunjukan mukosa yang rapuh, mukosa terinflasi dengan eksudat dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat memberikan diagnosis colitis . tujuan lain dari pemeriksaan ini adalah untuk mendukomenyasian sejauh mana progresivitas penyakit, untuk memantau aktivitas penyakit , dan sebagai surveilans untuk dysplasia atau kanker. Namun , berhati –hati dalam upaya kolonoskopi dengan biopsy pada pasien dengan penyakit parah karena risiko yang mungkin perforasi lainnya komplikasi (Rajwal, 2004)
Endoskopi dapat menunjukan mukosa yang rapuh, mukosa terinflasi dengan eksudat dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat memberikan diagnosis colitis . tujuan lain dari pemeriksaan ini adalah untuk mendukomenyasian sejauh mana progresivitas penyakit, untuk memantau aktivitas penyakit , dan sebagai surveilans untuk dysplasia atau kanker. Namun , berhati –hati dalam upaya kolonoskopi dengan biopsy pada pasien dengan penyakit parah karena risiko yang mungkin perforasi lainnya komplikasi (Rajwal, 2004)
E. Pengkajian
penatalaksanaan medis
Intervensi dilakukan , meliputi hal-hal berikut (Wu, 2009)
Intervensi dilakukan , meliputi hal-hal berikut (Wu, 2009)
1. Terapi
farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi, dengan pertimbangan terapi berikut ini.
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi, dengan pertimbangan terapi berikut ini.
a. Tumor necrosis factor
(TNF) inhibitor. Agen ini mencegah sitokin endogen
dari mengikat ke respetor permukaan
sel dan mengerahkan aktivitas biologis
b. Immunomodulators.
Agen ini mengatur faktor faktor kunci
dari system kekebalan tubuh
c. Antibiotic,
antibiotic belum belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten dari
beberapa uji coba terkontrol untuk pengobatan colitis ulseratif aktif. Akan
tetapi biasanya diberikan pada dasar empiris pada pasien dengan colitis yang
parah dan dapat membantu menghindari suatu infeksi yang mengancam jiwa.
d. Kortikosteroid.
Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi remisi. Agen ini
tidak memiliki manfaat dalam mencegah remisi; pengunaan jangka panjang dapat
menyebakan efek samping.
2. Terapi
bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan colitis ulseratif untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Pembedahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu. Bebrapa jenis pembedahan pada colitis ulseratif, meliputi : subtotal colectomy with ileotomy and harmann’s pouch, total proctocolectomy with litomy, total abdominal colectomy with ideal rectal anastomosi , total proctocoltomy with continent (Kock) pouch, total proctocolectomy with ileal pouch anal anastomosis, anal transitions zone preservation, dan diverting ileostomy.
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan colitis ulseratif untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Pembedahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu. Bebrapa jenis pembedahan pada colitis ulseratif, meliputi : subtotal colectomy with ileotomy and harmann’s pouch, total proctocolectomy with litomy, total abdominal colectomy with ideal rectal anastomosi , total proctocoltomy with continent (Kock) pouch, total proctocolectomy with ileal pouch anal anastomosis, anal transitions zone preservation, dan diverting ileostomy.
Pertimbangan untuk total kolektomi
adalah sebagai berikut (Becker, 1999)
a. Refraktori
penyakit dengan kegagalan terapi medis.
b. Terdapat
bukti karsinoma atau displasia.
c. Pendarahan
parah.
d. Kolitis
fulminan tidak responsive terhadap pengobatan.
e. Megakolon
toksik.
f. Perforasi
g. Obstruksi
dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.
h. Sistemik
komplikasi dari obat khususnya steroid.
i.
Gagal tumbuh pada
anak-anak.
F. Diagnosis
keperawatan
1. Nyeri
b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, respons pembedahan.
2. Risiko
ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah.
3. Actual
/ risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
intake makanan yang kurang adekuat.
4. Pemenuhan
informasi b.d. adanya evaluasi diagnostic, rencana pembedahan, dan rencana
perawatan rumah.
5. Ganguan
aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pasca nyeri dan
diare.
6. Risiko
injuri b.d. pasca prosedur bedah kolektomy atau ilestomy.
7. Actual
/ risiko ketidakefektifan kebersihan jalan nafas b.d. kemapuan batuk menurun,
nyeri pasca bedah.
8. Risiko
tinggi infeksi b.d. adanya port de entrée luka pascabedah.
9. Kecemasan
b.d prognosis penyakit,misinterprestasi informasi, rencana pembedahan.
G. RENCANA
KEPERAWATAN
Rencana
keperawatan disusun sesuai dengan tingkat toleransi individu. Pada pasien
colitis ulseratif, intervensi pada masalah keperawatan actual / risiko ketidak
efektifan kebersihan jalan nafas dan disesuaikan dengan intervensi pada pasien
dengan pascabedah grastrektomy (lihat kembali asuhan keperawatan pasien ulkus
peptikum atau kanker lambung). Untuk intervensi masalah kecemasan dan pemenuhan
informasi dapat disesuaikan dengan intervensi pada pasien diverticulitis untuk
masalah keperawatan risiko injuri dan risiko tinggi infeksi disesuaikan dengan
masalah yang sama pada pasien peritonitis, sedangkan untuk masalah keperawatan
ganguan aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pasca nyeri
dan diare dapat disesuaikan enteritis regional.
Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram
abdomen, sembelit, respons pembedahan
|
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam pascabedah, nyeri
berkurang atau teradaptasi.
Criteria evaluasi:
-
Secara subjektif
pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi
-
Skala nyeri 0-1
(0-4).
-
TTV dalam batas
normal, wajah pasien rileks.
|
Intervensi
|
Rasional
|
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda
nyeri nonfarmakologi dan noninvasif.
|
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
|
Lakukan manajemen nyeri keperawatan, meliputi:
·
Kaji nyeri dengan
pendekatan PQRST
·
Beri oksigen nasal
apabila skala nyeri
≥
3 (0-4).
·
Istirahatkan pasien
pada saat nyeri muncul.
Biasakan
pasien untuk BAB di tempat tidur.
·
Atur posisi
fisiologis.
·
Beri kompres hangat
pada abdomen.
|
Pendekatan PQRST dapat secara komprehensif
menggali kondisi nyeri pasien.
P : penyebab nyeri dapat diakibatkan oleh respons
diare, kram abdomen, dan sembelit atau kerusakan jaringan pascabedah.
Q: kualitas nyeri seperti tumpul, kram, dan mulas.
R : area nyeri pada abdomen bawah kiri.
S : pasien mengalami skala nyeri 3 (0-4).
T : nyeri bertambah bila tidak bisa melakukan BAB.
Pemberian oksigen dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen pada saat pasien mengalami nyeri pascabedah yang dapat
mengganggu kondisi hemodinamik.
Istirahat diperlukan untuk menurunkan peristaltic
usus.
Istirahat secara fisiologis dan melakukan BAB di
tempat tidur akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme basal pada aktivitas dan menurunkan keletihan
pascanyeri.
Pengaturan posisi semipowler dapat membantu
merelaksasi otot-otot abdomen
pascabedah sehingga dapat menurunkan stimulus nyeri dari luka
pascabedah.
Member respons vasodilatasi. Kompres ini hanya
dilakukan pada pasien tanpa pembedahan.
|
Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram
abdomen, sembelit, respons pembedahan.
|
Intervensi
|
Rasional
|
·
Ajarkan teknik
relaksasi pernafasan dalam pada saat nyeri muncul.
·
Ajarkan teknik
distraksi pada saat nyeri.
·
Lakukan manajemen
sentuhan.
|
Meningkatkan intake oksigen sehingga akan
menurunkan sekunder dari iskemia spina.
Distraksi ( pengalihan perhatian ) dapat
menurunkan stimulus internal.
Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan
dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri.
|
Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri
dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
|
Pengetahuan yang akan dirasakan membantu
mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien
terhadap rencana terapeutik.
|
Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian:
·
Analgenik via
intravena.
·
Antidiare.
|
Analgenik diberikan untuk membantu menghambat
stimulus nyeri ke pusat persepsi nyeri di korteks serebri sehingga nyeri
dapat berkurang.
Penurunan respons diare dapat menurunkan stimulus
nyeri.
|
Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d. intake makanan yang kurang adekuat.
|
Tujuan : setelah 3x24 jam pada pasien nonbedah dan
setelah 7x24 jam pascabedah intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi :
·
Pasien dapat
menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
·
Keluhan mual dan muntah
berkurang.
·
Secara subjektif
melaporkan peningkatan nafsu makan.
·
Berat badan pada hari
ke-7 pascabedah meningkat 0,5 kg.
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji dan berikan nutrisi sesuai tingkat toleransi
individu.
|
Pemberian nutrisi pada pasien dengan enteritis
regional bervariasi sesuai dengan kondisi klinik dan tingkat toleransi
individu.
|
Sajikan makanan dengan cara yang menarik.
|
Membantu merangsang nafsu makan. Hal ini dapat
diberikan bila toleransi oral tidak menjadi masalah pada pasien.
|
Fasilitasi pasien memperoleh diet rendah lemak.
|
Diet diberikan pada pasien dengan gejala
malabsorpsi akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa, khususnya
penyerapan lemak, keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan steatorrhea ( buang air besar dengan
feses bercampur lemak).
|
Fasilitasi pasien memperoleh diet dengan kandungan
serat tinggi.
|
Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi pasien
dengan penyakit kolon karena fakta bahwa serat makanan dapat diubah menjadi
rantai pendek asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan
mukosa kolon.
|
Fasilitasi pasie memperoleh diet rendah serat pada
gejala obsrtuksi.
|
Diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk
pasien dengan gejala obstruksi.
|
Resiko tinggi nutrisi kurang kebutuhan tubuh b.d.
intake makanan yang kurang adekuat.
|
Intervensi
|
Rasional
|
Fasilitasi untuk pemberian nutrisi parenteral
total.
|
Nutrisi peranteral total (TPN ) digunakan bila
gejala penyakit usus inflamasi bertambah berat. Dengan TPN, perawat dapat
mempertahankan catatan actual tentang intake dan output cairan, serta berat
basdan pasien setiap hari. Berat badan pasien harus meningkat 0,5 kg setiap
hari selama terapi. Urine diuji setiap hari terhadap adanya glukosa, aseton
dan berat jenis bila TPN digunakan. Pemberian makan yang tinggi protein,
rendah lemak, dan residu dilakukan setelah terapi TPN karena makanan ini
dicerna terutama pada jejunum, tidak merangsan sekresi usus, dan memungkinkan
usus beristirahat. Intoleransi dicatat bila pasien menunjukkan mual, muntah,
diare, atau distensi abdomen.
|
Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang
berat badan secara periodik ( sekali seminggu ).
|
Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan
dukungan cairan.
|
Lakukan perawatan mulut.
|
Intervensi ini untuk menurunkan resiko infeksi
oral.
|
Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai jenis nutrisi
yang akan digunakan pasien.
|
Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan komposisi
dan jenis makanan yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan individu.
|
Actual/resiko ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit b.d. diare, kehilangan cairan dari gastrointestinal, ganggguan
absorpsi usus besar, pengeluaran elektrolit dari muntah.
|
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria :
·
Pasien tidak mengeluh
pusing TTV dalam batas normal, kesadaran optimal.
·
Membran mukosa
lembab, turgor kulit normal, CRT > 3 detik.
·
Laboratorium : nilai
elektrolit normal, analisis gas darah normal.
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji terhadap adanya tanda kekurangan volume cairan
: kulit dan membrane mukosa kering, penuruna turgor kulit, oliguria,
kelelahan, penurunan suhu, peningkatan hematokrit, peningkatan berat jenis
urine, dan hipotensi.
|
|
Intervensi pemenuhan cairan :
·
Identifikasi faktor
penyebab, awitan (onset), spesifikasi usia dan adanya riwayat penyakit lain.
·
Lakukan pemasangan
IVFD
·
Dokumentasi dengan
akurat tentang asupan dan haluaran cairan.
|
Parameter dalam menentukan intervensi kedaruratan.
Adanya riwayat keracunan dan usia anak atau lanjut usia membeerikan tingkat
keparahan dari kondisi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut, maka
lakukan pemasangan IVFD. Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan
derajat dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan Ringer laktat dengan
tetesan cepat sebagai kompensasi awal hidrasi cairan di berikan untuk
mencegah syok hipovolemik (lihat intervensi kedaruratan syok hipovolemik).
Sebagai evaluasi penting dari intervensi hidrasi
dan mencegah terjadinya over hidrasi.
|
Actual/resiko ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit b.d. diare, kehilangan cairan dari gastrointestinal, gangguan
absorpsi usus besar, pengeluaran elektrolit dari muntah.
|
Intervensi
|
Rasional
|
·
Bantu pasien apabila
muntah
|
Aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada usia
lanjut dengan perubahan kesadaran. Perawat mendekatkan tempat muntah dan
memberikan masase ringan pada pundak untuk membantu menurunkan respons nyeri
dari muntah.
|
Intervensi pada penurunan kadar elektrolit.
·
Evaluasi kadar
elektrolit serum
·
Dokumentasikan
perubahan klinik dan laporkan dengan tim medis.
·
Monitor khusus
ketidakseimbangan elektrolit pada lansia.
|
Untuk mendeteksi adanya kondisi hiponatremi dan
hipokalemi sekunder dari hilangnya elektrolit dari plasma.
Perubahan klinik seperti penurunan urine output
secara akut perlu diberitahu kepada tim medis untuk mendapatkan intervensi
selanjutnya dan menurunkan risiko terjadinya asidosis metabolik.
Individu lansia dapat dengan cepat mengalami
dehidrasi dan menderita kadar kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat
diare. Individu lansia yang menggunakan digitalis harus waspada terhadap
cepatnya dehidrasi dan hipokalemia pada diare. Individu ini juga
diinstruksikan untuk mengenali tanda-tanda hipokalemia karena kadar kalium
rendah dapat memperberat kerja digitalis, yang dapat menimbulkan toksisitas
digitalis.
|
Kolaborasi dengan tim medis terapi farmakologis :
·
Antimikroba.
·
Antidiare/antimotilitas.
|
Antimikroba diberikan sesuai dengan pemeriksaan
feses agar pemberian antimikroba dapat rasional diberikan dan mencegah
terjadinya resistensi obat.
Agen ini digunakan untuk menurunkan frekuensi
diare. Salah satu obat yang lazim diberikan adalah loperamide (Imodium).
|
|
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam pascabedah, kecemasan berkurang atau
teratasi.
Criteria evaluasi:
-
Mengidentifikasi
situasi stres dan tindakan khusus untuk menerimannya.
-
Berpatisipasi
dalam program pengobatan
-
Melakukan
perubahan pla hidup tertentu
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
|
Lakukan manajemen nyeri keperawatan, meliputi:
·
Tentukan
persepsi pasien tentang
Penyakit
·
Kaji ulang
obat, tujuan, frekuensi, dosisi, dan kemungkinan efek samping
|
·
Membuat
pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan belajar individu
·
Meningkatkan
pemahaman dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program
|
Evaluasi :
Hasil yang
diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut.
1. Nyeri
dilaporkan berkurang atau terdaptasi.
2. Status
hidrasi optimal.
3. Pemenuhan
nutrisi optimal.
4. Pemenuhan
informasi kesehatan optimal.
5. Tidak
terjadi injuri.
6. Jalan
nafas efektif.
7. Tidak
terjadi infeksi pascabedah.
8. Penurunan
respons kecemasan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Colitis
ulseratif merupakan suatu penyakit menahun di usus besar mengalani peradangan
dan luka,yang menyebabkan diare berdarah,kram perut dan demam.colitis ulseratif
bisa dimulai pada umur berapapun,tapi biasanya dimulai antara umur 15-30 tahun.
Penyebab
penyakit ini tidak diketahui, namun factor keturunan dan respon sistem
kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus,diduga berperan dalam terjadinya
colitis ulseratif.
Kebanyakan
gejala Colitis ulseratif pada
awalnya adalah berupa buang air besar yang lebih sering. Gejala yang paling
umum dari kolitis ulseratif adalah sakit perut dan diare berdarah.
DAFTAR
PUSTAKA
Muttaqim, Arif & Sari, Kumala Gangguan
Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah: Jakarta : Salemba
Medika, 2012.
0 komentar:
Posting Komentar