BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pandangan
Muhammadiyah Mengenai Tradisi Tahlilan Setelah Orang Meninggal
Muhammadiyah, mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan
Kematian) adalah perkara bid'ah, dan harus ditinggalkan.
Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".
Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad
al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar-
Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di
Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian
itu. “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara' adalah
dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari
lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara
orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari
ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau
keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya,
padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya
menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam
penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya biayanya
berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi
Irsyad al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Imam
Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan
berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu
adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Mestinya
tetangga yang meringankan beban keluarga si mayit dengan membuatkan makanan
untuk keluarga si mayit, bukan malah membebani keluarga si mayit untuk memberi
makan orang banyak yang berkumpul di rumahnya. Bahkan hal tersebut dilakukan
tidak hanya sekali tetapi berulang, seperti hitungan tujuh, 40, 100, 1000 hari
dan lainnya.
Lalu, yang jadi pertanyaan adalah, mengapa
harus tujuh, 40, 100, atau 1000 hari? Dalam Islam tidak ada penetapan yang
demikian. Maka satu-satunya alasan yang tepat adalah hal ini merupakan tradisi
yang berasal di luar konteks Islam.
B. Akibat Yang Ditimbulkan Dalam Melakukan Tradisi Tahlilan Setelah
Orang Meninggal
Mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah
melanggar tiga hal :
1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak
meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka
keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2.
Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut
hadits justru kita tetangga yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga
mayat yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya.
C. Dalil Mengenai Tahlilan
Dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata: Setelah datang berita kematian
Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far,
karena telah datang, kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka (HR Tirmidzi
juz 2, hal 234, dia berkata hadist ini hasan). Imam Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh
keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama
sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah
Muhadzab, juz 5 hal 286).
D. Hukum Tahlilan
Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah
Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak
beliau dan para syuhada.
berarti
hukumnya bukan Wajib, juga bukanSunnah.
Kalau
seandainya hukumnya Mubah,
maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan
dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan
buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.
Jadi, tinggal 2
(dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan Haram. Makruh apabila dikerjakan
dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa,
ditinggalkan berpahala.
0 komentar:
Posting Komentar