PAHAM DAN ISME MUHAMMADIYAH


BAB II
PEMBAHASAN

1.     Paham – paham muhammadiyah
a.      Sumber ajaran islam
Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam yang bersumber dari dua sumber primer ajaran ini. Yakni Alquran dan Assunnah Almaqbulah. Hal ini bisa kita lihat di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB II Pasal 4 ayat 1. Hanya saja istilah Assunnah Almaqbulah baru digunakan setelah diresmikan istilahnya pada Keputusan Musyawarah Nasional Majlis Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Jakarta tahun 2000, dan sebelumnya digunakan istilah Assunnah Ashshahihah.
Untuk mencapai maksud dan tujuannya yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, maka Muhammadiyah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan. Dalam pengembangan bidang keagamaan dan dakwah ditangani oleh dua majlis yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid (MTT) dan Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MT-DK).
b.      Pemahaman Ajaran Islam
Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
1)       Agama, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Alquran dan yang disebut dalam Sunnah maqbulah, berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang al-Din).
2)       Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi .
3)      Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a.       ‘Aqidah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam;
b.      Akhlaq: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia;
c.       Ibadah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia;
4)      Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T.
5)      Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.
6)      Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Alquran dan Sunnah. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam Alquran dan Sunnah maqbulah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).
7)      Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) (Keputusan Munas Tarjih di Malang).
Hal yang penting yang perlu menjadikan pamahamamn bersama bahwa paham islam dalam muhammadiyah bersifat komprensif dan luas, sehingga tidak sempit dan parsial. Agam dalam pandangan atau paham muhammadiyah tidak lah sepotong-potong, serpihan-serpihan dan hanya hukum atau fikih belaka. Paham agama yanh id tanamkan bukan ajaran nya yang terbatas, tetapi luas dan multiaspek karen amuhammadiyah merupakan gerakan islam, mak paham tentang islam merupakan kewajiban atau keniscayaan yang fundamental, yang yang intinya pada memperdalam sekaligus memperluas paham islam bagi seluruh warga muhammadiyah. Kemudian menyebarkan/mensosialisasikan dan mengamalkan dalam kehidupan umat serta masyarakat sehingga islam yang didakwahkan muhammadiyah membawa/mwnjadi rahmatan lil-‘alamin. 

Muhammdiyah bergerak dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang antara lain dapat diklasisfikasikan sebagai berikut :
a.      Bidang Aqidah
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada sumber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, nash sebagai dasar rujukan. diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya, lebih-lebih dalam masalah aqidah, seperti dinyatakan: “Inilah pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan dikuatkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Berdasarkan pernyataan di atas, jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir. Ketentuan ini juga dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: “(5) Di dalam masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6) Dalil-dalil umum Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah, (16) dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.”
Ketentuan-ketentuan di atas jelas menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari Alquran dan Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam aliran-aliran teologi pada umumna. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
Kedua, keterbatasan peranan akal dalam soal aqida Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.”
Ketiga, kecondongan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala perbuatan telah ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika ditinjau dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila ditinjau dari sis Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat, percaya kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima, menetapkan sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail. Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada aqidah salaf.
b.      Bidang Hukum
Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman menumal yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad sebagai karakteristik utama organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara lain:
1.      Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
2.      Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
3.      Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling benar. Koreksi dari siapa pun akan diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
4.      Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya.
5.      Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
c.       Bidang Akhlak
Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah satu sendi dasar sikap keberagamaannya.
Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
Untuk menghidupkan akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah Maqbulah, membersihkan jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
  1. Akhlaq Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termasuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
  2. Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
  3. Akhlak Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An’nam : 151-152).
  4. Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
  5. Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173).
d.      Bidang Mu’amalah Dunyawiyah
Mua’malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
1.      Menganut prinsip mubah.
2.      Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
3.      Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik mamfaat dan menolak kemudharatan.
4.      Harus sesuai dengan prinsip keadilan.

ISME-ISME MODERN
1. Faham Sekulerisme
Ada beberapa pendapat mengenai istilah sekularisme yang kesemuanya saling melengkapi yang antara lain adalah sebagai berikut :
Istilah sekularisme yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan 'ilmaniyyah atau 'almaniyyah telah menjadi perhatian khusus para ilmuwan . Di kalangan orang Arab sendiri ada yang menerjemahkan sekularisme sebagai 'ilmaniyyah, yaitu dari akar kata al-'ilm (ilmu) yang mendapat akhiran 'alif' dan 'nun' serta "ya'" yang menunjukkan sifat kepada ilmu, seperti pada perkataan ruh yang menjadi ruhaniyyah atau rabb yang menjadi rabbaniyyah, maka 'ilm menjadi 'ilmaniyyah. Sebagian yang lain menerjemahkannya sebagai 'almaniyyah yang berasal dari kata al-'alam (alam), meski dari akar kata ini lebih tepat menjadi kata 'alamaniyyah, namun yang umum digunakan istilah 'almaniyyah.
Al-Qaradawi lebih cenderung kepada 'ilmaniyyah, sedangkan al-Attas lebih kepada 'almaniyyah. Perbedaan penggunaan terjemahan ini sekaligus menunjukkan bahwa istilah sekularisme yang coba diterjemahkan kedalam bahasa Arab memang tidak mempunyai akar yang kokoh dalam pandangan hidup Islam. Perlu disebutkan juga bahwa kedua ilmuwan kita ini menolak secara tegas terjemahan-terjemahan di atas.
Al-Qaradawi misalnya menyatakan bahwa menerjemahkan sekularisme sebagai 'ilmaniyyah tidak saja "satu terjemahan yang tidak teliti (ghayru daqiqah)", tetapi juga "satu terjemahan yang tidak betul (ghayru sahihah)," karena "perkataan [sekularisme] itu tidak mempunyai kaitan langsung dengan lafaz al-'ilm (ilmu) dan akar katanya." Beliau menambahkan lagi bahwa "terjemahan perkataan asing dengan lafaz 'ilmaniyyah ini disebabkan oleh orang-orang yang menerjemahkannya tidak memahami perkataan al-din dan al-'ilm melainkan hanya dengan ide Barat Kristian, yang memang bagi orang Barat (al-insan al-gharbi) agama dan ilmu mereka itu adalah saling bertentangan." Al-Qaradawi selanjutnya menyimpulkan bahwa menerjemahkan sekularisme dengan 'ilmaniyyah dan mengkaitkannya dengan ilmu adalah "suatu usaha untuk menjadikannya satu makna dengan istilah 'ilmiyyah." dan karenanya, menurut al-Qaradawi, adalah "penipuan yang (patut) diungkap".  
Oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Menurut Ensiklopedi Britania misalnya, menyebutkan bahwa “sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia. Gerakan ini dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang sengat cenderung kepada Allah dan hari akhirat dan menjauhi dunia. Sekularisme tampil untuk menghadapinya dan untuk mengusung kecendrungan manusia yang pada abad kebangkitan, orang menampakkan ketergantungan yang besar terhadap aktualisasi kebudayaan dan kemanusiaan dan kemungkinan terealisasinya ambisi mereka terhadap dunia.
Sedangkan menurut Kamus Dunia Baru oleh Wipster merinci makna Sekularisme adalah Semangat Keduniaan atau orientasi “duniawi” dan sejenisnya. Secara khusus adalah undang-undang dari sekumpulan prinsip dan praktek (practices) yang menolak setiap bentuk keimanan dan ibadah. Keyakinan bahwa agama dan urusan-urusan gereja tidak ada hubungannya sama sekali dengan soal-soal pemerintahan, terutama soal pendidikan umum.
Oleh: Dr. Ugi Suharto   Jadi dari berbagai macam pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Sekularisme ialah memisahkan agama dari kehidupan individu atau sosial dalam artian agama tidak boleh ikut berperan dalam pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum.
Dengan kata lain: Sekularisme ialah memisahkan Allah Ta’ala dari hukum dan undang-undang mahluk-Nya. Allah tidak boleh ikut mengatur mereka seakan-akan tuhan mereka adalah diri mereka sendiri, berbuat sesukanya dan membuat hukum sesuai seleranya.
2. Faham Pluralisme Agama
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.
Di Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern. Sejak awal, postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
·         Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
·         Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
·         Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
·         Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
·         Dalam The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language diungkap bahwa pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah di mana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are equally true). (Lihat juga dalam  Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).
·         Dari sisi definisi saja dapat diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah mengandung pandangan relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga terhadap kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun. Tidak boleh ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.



Pluralisme Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]: 85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4) disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak berarti diakui benar.
Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam. Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.
Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.
Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
Faham ini sangat berbahaya khususnya bagi umat islam bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.
Melihat ini, menarik menilik 'apa' yang disampaikan oleh Prof. Dr. M. Amien Rais, tokoh senior Muhammadiyah. Beliau secara tegas mengkritik tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah yang sudah meninggalkan wacana Tauhid dengan bicara dan menyebarkan faham Pluralisme secara 'kebablasan (wawancara di Majalah Tabligh, edisi Maret 2010).
Menyadari ini, para tokoh nasional hendaknya berhati-hati dalam menggunakan istilah pluralisme. Apalagi mengajak orang lain untuk menjalankannya. Di atas segalanya, mereka harus lebih mengedepankan isu ”iman”, bukan lainnya. Dalam masalah pluralisme ini misalnya, jangan hanya karena "dipaksakan", lalu istilah itu begitu saja dipakai. Sebab, setiap istilah itu tidaklah 'tergeletak' begitu saja. Ia mengandung nilai-nilai, konsep dan ideologi bangsa yang melahirkannya. Jika datang dari Barat misalnya, maka ia mewakili nilai-nilai mereka (Barat). Demikian juga dengan istilah pluralisme.
1.      Liberalisme dan Jaringan Islam Liberal ( JIL)
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan
individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup
ini adalah individu. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun
dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat
atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasankemerdekaan
individu. Setiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaan,
seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
misalnya dalam bidang Agama Liberalisme menganggap masalah agama merupakan masalahpribadi, masalah individu. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaanberagama dan menolak campur tangan negara/pemerintah.
Dengan demikian, dalam bidang agama, golongan liberal
menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas
menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jaringan Islam Liberal

Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkumpul oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari Uraian diatas tentang Muhammadiyah dan Isme-isme Modern dapat disimpulkan bahwa organisasi Muhammadiyah didirikan dengan tujuan untuk melindungi, mengembalikan dan menjaga kemurnian aqidah islam dari kemusyrikan seperti takhayul, bid’ah , kurafat dan lainnya, tetapi disisi yang lain ada beberapa faham/isme yang muncul di Indonesia justru merusaknya , agar umat islam terjerumus pada kemusyrikan , agar umat islam di Indonesia jauh dari nilai-nilai agama, ibadahnya agar menyimpang dari dinul islam yang berdasar alqur’an dan al hadis dan bahkan sampai titik yang ironis sekali yaitu agar kita berbalik membenci agama itu sendiri, dengan alasan-alasan yang kelihatannya logis dan rasional tapi sebenarnya mengikuti hawa nafsu mereka. Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para pemeluk agama lain lebih khusus orang islam untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam dengan secara kaffah. Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan

0 komentar:

Posting Komentar