BAB II
PEMBAHASAN
1. Paham – paham muhammadiyah
a. Sumber ajaran islam
Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam
dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan
kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam yang bersumber dari dua
sumber primer ajaran ini. Yakni Alquran dan Assunnah Almaqbulah. Hal ini bisa kita lihat di dalam
Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB II Pasal 4 ayat 1. Hanya saja istilah Assunnah Almaqbulah baru
digunakan setelah diresmikan istilahnya pada Keputusan Musyawarah Nasional
Majlis Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di
Jakarta tahun 2000, dan sebelumnya digunakan istilah Assunnah Ashshahihah.
Untuk mencapai maksud dan tujuannya yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, maka Muhammadiyah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar
dan tajdid yang
diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan. Dalam pengembangan bidang
keagamaan dan dakwah ditangani oleh dua majlis yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid
(MTT) dan Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MT-DK).
b. Pemahaman
Ajaran Islam
Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis
besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
1)
Agama, yakni
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah
dalam Alquran dan yang disebut dalam Sunnah maqbulah, berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan
petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat (Kitab Masalah
Lima, Al-Masail Al-Khams tentang al-Din).
2)
Muhammadiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para
Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai
kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil,
duniawi dan ukhrawi .
3)
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran
Islam yang meliputi bidang-bidang:
a.
‘Aqidah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah
Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat,
tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam;
b.
Akhlaq: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan
Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia;
c.
Ibadah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah
yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia;
4)
Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang
ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T.
5)
Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata
karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama
yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan
dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta
alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.
6)
Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam
adalah Alquran dan Sunnah. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang
telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang
tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada
terdapat nash sharih dalam Alquran dan Sunnah maqbulah, maka
dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada
melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan
Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).
7)
Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua
pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) (Keputusan
Munas Tarjih di Malang).
Hal yang penting yang perlu menjadikan pamahamamn bersama bahwa paham islam
dalam muhammadiyah bersifat komprensif dan luas, sehingga tidak sempit dan
parsial. Agam dalam pandangan atau paham muhammadiyah tidak lah
sepotong-potong, serpihan-serpihan dan hanya hukum atau fikih belaka. Paham
agama yanh id tanamkan bukan ajaran nya yang terbatas, tetapi luas dan
multiaspek karen amuhammadiyah merupakan gerakan islam, mak paham tentang islam
merupakan kewajiban atau keniscayaan yang fundamental, yang yang intinya pada
memperdalam sekaligus memperluas paham islam bagi seluruh warga muhammadiyah. Kemudian
menyebarkan/mensosialisasikan dan mengamalkan dalam kehidupan umat serta
masyarakat sehingga islam yang didakwahkan muhammadiyah membawa/mwnjadi rahmatan
lil-‘alamin.
Muhammdiyah
bergerak dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang antara lain dapat
diklasisfikasikan sebagai berikut :
a. Bidang
Aqidah
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah
dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang
dirumuskan dengan merujuk langsung kepada sumber utama ajaran Islam itu disebut
‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran
teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama, nash sebagai
dasar rujukan. diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada kedua
sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara dinamis.
Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya,
lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti dinyatakan: “Inilah
pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan dikuatkan
dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Berdasarkan pernyataan di atas,
jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang
dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir. Ketentuan ini juga
dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: “(5)
Di dalam masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6)
Dalil-dalil umum Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam
bidang aqidah, (16) dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada
ta’wil dalam bidang aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus
diterima.”
Ketentuan-ketentuan di atas jelas
menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari Alquran dan
Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam aliran-aliran
teologi pada umumna. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran
filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang
perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti
halnya kaum salaf.
Kedua, keterbatasan
peranan akal dalam soal aqida Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang
kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai
berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai
pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak mungkin
mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang
ada pada-Nya.”
Ketiga, kecondongan
berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala perbuatan telah
ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika ditinjau
dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan
bila ditinjau dari sis Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat, percaya
kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar
diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun
imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai
pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima, menetapkan
sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan
Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail.
Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada
aqidah salaf.
b.
Bidang Hukum
Muhammadiyah melarang anggotanya
bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti pemikiran ulama tanpa
mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman menumal yang
dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti pemikiran
ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya dengan
pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad sebagai
karakteristik utama organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama pikiran
Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara
lain:
1.
Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah
terhadap hal-hal yang terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang
tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan hal yang diajarkan
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
2.
Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat
madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
3.
Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan
bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling benar. Koreksi dari siapa pun akan
diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih kuat. Dengan demikian,
Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
4.
Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa
yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan
cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang
dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya.
5.
Dalam bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan
akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui
bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal
memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
c. Bidang
Akhlak
Mengingat pentingnya akhlaq dalam
kaitannya dengan keimanan seseorang, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah satu sendi dasar sikap
keberagamaannya.
Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang
dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai
dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini,
syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong, takabur,
dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
Untuk menghidupkan akhlaq yang islami,
maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama
menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar
berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah Maqbulah, membersihkan jiwa dari
kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata kepada Allah.
Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan
inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame muslim
yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun
sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
- Akhlaq Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termasuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
- Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
- Akhlak Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An’nam : 151-152).
- Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
- Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173).
d. Bidang
Mu’amalah Dunyawiyah
Mua’malah : Aspek kemasyarakatan
yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini, baik tentang harta benda,
perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain
sebagainya.Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih disebutkan “Dalam hal-hal
termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan
akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah
dunyawiyah yang terpenting antara lain:
1.
Menganut prinsip mubah.
2.
Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada
yang dipaksa.
3.
Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan
untuk menarik mamfaat dan menolak kemudharatan.
4.
Harus sesuai dengan prinsip keadilan.
ISME-ISME MODERN
1.
Faham Sekulerisme
Ada beberapa pendapat mengenai istilah
sekularisme yang kesemuanya saling melengkapi yang antara lain adalah sebagai
berikut :
Istilah sekularisme yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab dengan 'ilmaniyyah atau 'almaniyyah telah
menjadi perhatian khusus para ilmuwan . Di kalangan orang Arab sendiri ada yang
menerjemahkan sekularisme sebagai 'ilmaniyyah, yaitu dari akar kata
al-'ilm (ilmu) yang mendapat akhiran 'alif' dan 'nun' serta "ya'"
yang menunjukkan sifat kepada ilmu, seperti pada perkataan ruh yang
menjadi ruhaniyyah atau rabb yang menjadi rabbaniyyah,
maka 'ilm menjadi 'ilmaniyyah. Sebagian yang lain menerjemahkannya sebagai 'almaniyyah
yang berasal dari kata al-'alam (alam), meski dari akar kata ini lebih tepat
menjadi kata 'alamaniyyah, namun yang umum digunakan istilah 'almaniyyah.
Al-Qaradawi lebih cenderung kepada 'ilmaniyyah,
sedangkan al-Attas lebih kepada 'almaniyyah. Perbedaan penggunaan
terjemahan ini sekaligus menunjukkan bahwa istilah sekularisme yang coba
diterjemahkan kedalam bahasa Arab memang tidak mempunyai akar yang kokoh dalam
pandangan hidup Islam. Perlu disebutkan juga bahwa kedua ilmuwan kita ini
menolak secara tegas terjemahan-terjemahan di atas.
Al-Qaradawi misalnya menyatakan bahwa
menerjemahkan sekularisme sebagai 'ilmaniyyah tidak saja "satu
terjemahan yang tidak teliti (ghayru daqiqah)", tetapi juga "satu
terjemahan yang tidak betul (ghayru sahihah)," karena "perkataan
[sekularisme] itu tidak mempunyai kaitan langsung dengan lafaz al-'ilm (ilmu)
dan akar katanya." Beliau menambahkan lagi bahwa "terjemahan
perkataan asing dengan lafaz 'ilmaniyyah ini disebabkan oleh
orang-orang yang menerjemahkannya tidak memahami perkataan al-din dan al-'ilm
melainkan hanya dengan ide Barat Kristian, yang memang bagi orang Barat
(al-insan al-gharbi) agama dan ilmu mereka itu adalah saling
bertentangan." Al-Qaradawi selanjutnya menyimpulkan bahwa menerjemahkan
sekularisme dengan 'ilmaniyyah dan mengkaitkannya dengan ilmu adalah
"suatu usaha untuk menjadikannya satu makna dengan istilah 'ilmiyyah."
dan karenanya, menurut al-Qaradawi, adalah "penipuan yang (patut)
diungkap".
Oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Menurut Ensiklopedi Britania misalnya, menyebutkan
bahwa “sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan
memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada
dunia. Gerakan ini dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang sengat
cenderung kepada Allah dan hari akhirat dan menjauhi dunia. Sekularisme tampil
untuk menghadapinya dan untuk mengusung kecendrungan manusia yang pada abad
kebangkitan, orang menampakkan ketergantungan yang besar terhadap aktualisasi
kebudayaan dan kemanusiaan dan kemungkinan terealisasinya ambisi mereka
terhadap dunia.
Sedangkan menurut Kamus Dunia Baru oleh
Wipster merinci makna Sekularisme adalah Semangat Keduniaan atau orientasi
“duniawi” dan sejenisnya. Secara khusus adalah undang-undang dari sekumpulan
prinsip dan praktek (practices) yang menolak setiap bentuk keimanan dan ibadah.
Keyakinan bahwa agama dan urusan-urusan gereja tidak ada hubungannya sama
sekali dengan soal-soal pemerintahan, terutama soal pendidikan umum.
Oleh: Dr. Ugi Suharto Jadi
dari berbagai macam pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Sekularisme ialah
memisahkan agama dari kehidupan individu atau sosial dalam artian agama tidak
boleh ikut berperan dalam pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum.
Dengan kata lain: Sekularisme ialah memisahkan Allah Ta’ala dari hukum dan undang-undang mahluk-Nya. Allah tidak boleh ikut mengatur mereka seakan-akan tuhan mereka adalah diri mereka sendiri, berbuat sesukanya dan membuat hukum sesuai seleranya.
Dengan kata lain: Sekularisme ialah memisahkan Allah Ta’ala dari hukum dan undang-undang mahluk-Nya. Allah tidak boleh ikut mengatur mereka seakan-akan tuhan mereka adalah diri mereka sendiri, berbuat sesukanya dan membuat hukum sesuai seleranya.
2.
Faham Pluralisme Agama
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi
adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan
ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim
keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap
ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan
atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap
agamanya yang paling benar.
Di Barat, pluralisme memiliki akar yang
dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme
dan relativisme Barat postmodern. Sejak awal, postmodernisme ini menjadikan
fundamentalisme sebagai musuh utamanya
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai
makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda,
dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
·
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa
agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan
dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan,
setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
·
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau
lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif
sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang
terdapat dalam agama-agama.
·
Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim
untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja
sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi
dalam satu agama.
·
Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang
merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama
ataupun denominasi yang berbeda-beda.
·
Dalam The Golier Webster Int. Dictionary Of
The English Language diungkap bahwa pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama,
adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap
kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah di mana masing-masing
agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan
menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme
berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b)
dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu
kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada
pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang
sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth),
e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau
semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are
equally true). (Lihat juga dalam Oxford Advanced Lear ners’
Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).
·
Dari sisi definisi saja dapat diketahui bahwa
pluralisme itu sendiri sudah mengandung pandangan relativitas dalam kebenaran,
atau setidaknya, curiga terhadap kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada
suatu dasar apa pun. Tidak boleh ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu
pengertian, pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Pluralisme Menurut Islam
Allah
SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan
Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling
bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat
ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa
serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak
mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ
عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Mereka
menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak
memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS
al-Hajj:67-71).
Ayat
ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada
selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide
pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan
menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam
ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ
الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).
Allah
SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]:
85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani,
ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka
sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya
bukan menyerukan pluralisme agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik
temu dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS
5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4) disamakan dengan Kristen yang mengakui
Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim
Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama
lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti
dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah,
makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak
berarti diakui benar.
Karena
itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru
para pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam.
Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.
Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya
didasarkan pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama,
adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang
paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing
pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.
Menurut
kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya
kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut
mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah
eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme
untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi
manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah
gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat
untuk menghalang kebangkitan Islam.
Faham ini sangat berbahaya khususnya bagi umat islam bahaya
pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam,
misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang
secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi
penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab
(jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah
publik yang sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah
Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa
mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama
baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat
di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah
pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah
beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme
agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti
penodaan terhadap Islam.
Melihat ini, menarik menilik 'apa' yang disampaikan oleh
Prof. Dr. M. Amien Rais, tokoh senior Muhammadiyah. Beliau secara tegas
mengkritik tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah yang sudah meninggalkan wacana
Tauhid dengan bicara dan menyebarkan faham Pluralisme secara 'kebablasan
(wawancara di Majalah Tabligh, edisi Maret 2010).
Menyadari ini, para tokoh nasional hendaknya berhati-hati
dalam menggunakan istilah pluralisme. Apalagi mengajak orang lain untuk menjalankannya.
Di atas segalanya, mereka harus lebih mengedepankan isu ”iman”, bukan lainnya.
Dalam masalah pluralisme ini misalnya, jangan hanya karena
"dipaksakan", lalu istilah itu begitu saja dipakai. Sebab, setiap
istilah itu tidaklah 'tergeletak' begitu saja. Ia mengandung nilai-nilai,
konsep dan ideologi bangsa yang melahirkannya. Jika datang dari Barat misalnya,
maka ia mewakili nilai-nilai mereka (Barat). Demikian juga dengan istilah
pluralisme.
1.
Liberalisme dan Jaringan Islam Liberal ( JIL)
Liberalisme adalah
suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan
individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup
ini adalah individu. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun
dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat
atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasankemerdekaan
individu. Setiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaan,
seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
misalnya dalam bidang Agama Liberalisme menganggap masalah agama merupakan masalahpribadi, masalah individu. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaanberagama dan menolak campur tangan negara/pemerintah.
Dengan demikian, dalam bidang agama, golongan liberal
menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas
menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya.
individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup
ini adalah individu. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun
dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat
atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasankemerdekaan
individu. Setiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaan,
seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
misalnya dalam bidang Agama Liberalisme menganggap masalah agama merupakan masalahpribadi, masalah individu. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaanberagama dan menolak campur tangan negara/pemerintah.
Dengan demikian, dalam bidang agama, golongan liberal
menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas
menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan
suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para
individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari
pemerintah dan agama.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jaringan Islam Liberal
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas
Islam dengan landasan sebagai berikut:
a.
Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional
atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus
bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas
atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan
demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad
bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial),
ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b.
Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya
menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi,
bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks.
Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang
berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara
kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c.
Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran
(dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah
penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkumpul oleh konteks tertentu;
terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah
cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus
berubah-ubah.
.
e.
Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak
beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam
Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat
atau kepercayaan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
Uraian diatas tentang Muhammadiyah dan Isme-isme Modern dapat disimpulkan bahwa
organisasi Muhammadiyah didirikan dengan tujuan untuk melindungi, mengembalikan
dan menjaga kemurnian aqidah islam dari kemusyrikan seperti takhayul, bid’ah ,
kurafat dan lainnya, tetapi disisi yang lain ada beberapa faham/isme yang
muncul di Indonesia justru merusaknya , agar umat islam terjerumus pada
kemusyrikan , agar umat islam di Indonesia jauh dari nilai-nilai agama,
ibadahnya agar menyimpang dari dinul islam yang berdasar alqur’an dan al hadis
dan bahkan sampai titik yang ironis sekali yaitu agar kita berbalik membenci
agama itu sendiri, dengan alasan-alasan yang kelihatannya logis dan rasional
tapi sebenarnya mengikuti hawa nafsu mereka. Karena itu, yang wajib dilakukan
umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para pemeluk agama lain
lebih khusus orang islam untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam
dengan secara kaffah. Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan
0 komentar:
Posting Komentar