farmakologi


BAB 1
A.  Farmakologi

1.   Pengantar Farmakologi
Secara bahasa Farmakologi adalah ilmu mengenai obat (farmakon = obat; logos = ilmu), sedangkan secara ilmunya Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana suatu bahan kimia/obat berinteraksi dengan sistem biologis, khususnya mempelajari aksi obat di dalam tubuh. Pada tahun 1985, para ilmuwan penasaran mengapa keberadaan beberapa protein tertentu menjadi begitu tinggi pada penyakit-penyakit tertentu dan mereka ingin tahu juga bagaimana pengaruh obat terhadap keberadaan tingginya protein. Seiring dengan itu, diketahui bahwa beberapa gen terekspresi secara berbeda pada jaringan yang berbeda. Diikuti dengan kemajuan teknik elektrofisiologi dan perkembangan teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan kloning, dimulailah era farmakologi molekuler. Ruang lingkup kajian farmakologi molekuler adalah pengaturan gen dan ekspresi protein pada kondisi fisiologis maupun patologis, mekanisme aksi obat pada tingkat seluler, genome dan protein, serta pengembangan dan penemuan obat. Buku ini merupakan pengantar menuju wawasan farmakologi molekuler, dengan kajian lebih difokus­kan pada aksi obat pada berbagai targetnya, di tingkat seluler atau molekuler.






2.   Istilah-istilah Penting Dalam Farmakologi.
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan alami lain yang merupakan sumber obat. Farmakologi klinik adalah cabang ilmu farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia. Farmakoterapi  adalah ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit.
Di dalam farmakoterapi dipelajari dua aspek, yaitu Farmakokinetik dan Farmakodinamik. Farmakokinetik        yaitu suatu imu yang mempelajari proses Absorrpsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi  ( ADME ) obat dalam tubuh. Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari cara pencegahan, pengenalan dan penanggulangan keracunan zat kimia  (termasuk obat) yang digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun lingkungan hidup yang lain.

3.  Dasar-Dasar Kerja Obat
Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerja reseptor dan menimbulkan efek , kemudian dengan atau tanpa biotransformasi                (metabolisme) lalu diekskresikan dari tubuh. Proses tersebut dinyatakan sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan reseptor obat, fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.
a.  Absorpsi .
Jumlah obat yang dapat diabsorbsi oleh tubuh, dinyatakan dengan bioavailalabilitas obat. Tingginya nilai bioavailabilitas obat tergantung pada banyak factor, yang menentu kan bagaimana molekul obat melewati barier saluran gastrointestinal dan berhasil memasuki pembuluh darah dan diangkut sampai ke reseptornya.
Faktor-faktor tersebut antara lain : 
1)   cara preparasi dan bentuk sediaan.
2)   ukuran molekul
3)   kelarutan molekul dalam lipid : yang lebih mudah larut dalam lipid, bioavailabilitasnya lebih tinggi
4)   kelarutan dalam air dan lipid : yang larut dalam keduanya, bioavailabilitasnya sangat baik; yang larut hanya dalam air, bioavailabilitasnya rendah karena molekul mudah terdisosiasi.
5)   transport aktif
6)   interaksi dengan makanan
7)   stabilitas di dalam usus
8)   pengosongan lambung
9)   adanya metabolisme dalam usus dan di dalam hati
10)                factor individu pasien itu sendiri dan faktor keadaan patologik dari pasien 





b.  Distribusi
          Distribusi obat terjadi melalui dua fase berdasarkan penyebarannya. Yaitu :
1)     Distribusi fase pertama : yaitu ke organ-organ yang perfusinya sangat baik ( jantung, hati, ginjal dan otak ), terjadi segera setelah penyerapan, selanjutnya 
2)   Distribusi fase kedua : yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak begitu baik ( otot, visera, kulit, dan jaringan lemak ).
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membrane sel dan terdistribusi ke dalam sel, obat yang tidak larut dalam lemak sulit menembus membrane sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi terbatasi oleh ikatan obat pada protein plasma. dan hanya obat bebas yang dapat berdifusi kedalam sel dan mencapai keseimbangan;
Obat dapat terakumulasi di dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif atau lebih sering karena berikatan dengan konponen intrasel ( protein, fosfolipid, atau nukleoprotein )
Distribusi obat ke SSP sulit terjadi, karena obat harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah –otak . Endotel kapiler otak tidak mempunyai ruang antar sel maupun vesikel pinositosik, karena itu kemampuan obat untuk menembus sawar darah-otak hanya ditentukan oleh dan sebanding dengan kelarutan bentuk non ion dalam lemak. 



c.    Biotransformasi

Biotransformasi atau metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Pada proses biotransformasi :
1)        molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga mudah diekskresi melalui ginjal.
2)        pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga proses biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat.
3)        ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif atau lebih toksik.
4)        ada obat yang merupakan calon obat ( pro drug ) yang baru aktif setelah mengalami biotransformasi oleh enzim tertentu menjadi metabolt aktif yang selanjutnya akan mengalami biotransformasi lebih lanjut atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.








Reaksi-reaksi biotransformasi yang terjadi dapat dibedakan atas : Reaksi fase I ialah : oksidasi, reduksi dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi metabolit lebih polar yang bersifat inaktif, kurang atau lebih aktif dari bentuk aslinya. Reaksi fase II ( disebut reaksi sintetik ) : merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat asetat atau asam amino. Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi.Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya didalam sel, yaitu : (1) enzim mikrosom ( dalam reticulum endoplasma ) yang mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronat, sebagian besar reaksi oksidasi obat, reaksi reduksi dan hidrolisis; (2) enzim nonmikrosom , yang mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya ( dengan asetat, sulfat, asam fosfat, gugus metal, glutation atau asam amino ), dan beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.










d.   Ekskresi
Obat dkeluarkan dari tubuh melalui barbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat dari pada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi lewat paru (tergantung koefisien partisi darah / udara , bila koefisien partisinya kecil, lebih cepat diekskresi). Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting ,ekskresi di ginjal merupakan proses filtrasi glomerulus. Glomerulus merupakan jaringan kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antar sel endotelnya. Semua obat yang tidak terikat oleh protein plasma mengalami fitrasi di glomerulus. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal, sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang. Ekskresi melalui empedu : Obat dengan BM lebih kecil dari 150 dan obat yang telah dimetabolisme menjadi obat yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati lewat empedu menuju ke usus dengan mekanisme transport aktif (dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sufat atau glisin). Di usus, obat bentuk konjugat dapat langsung diekskresi atau mengalami hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat nopolar sehingga dapat diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati , dimetabolisir, dikeluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus. demikian seterusnya sehingga merupakan siklus yang disebut siklus enterohepatik. Siklus enterohepatik menyebabkan kerja obat menjadi lebih panjang. Ekskresi obat juga bisa melalui keringat, air liur, air mata, air susu, dan rambut tetapi dalam jumlah relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.

e.    Farmakodinamik
Cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya disebut farmakodinamik. (pengaruh obat terhadap organ-organ tubuh). Mekanisme kerja obat yaitu : 
1)        Obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal (fisiologi) tubuh.
2)        Obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada (ini tidak berlaku bagi terapigen).
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk : 
a)    meneliti efek utama obat
b)   mengetahui interaksi obat dengan sel
c)    mengetahui respon khas yang terjadi interaksi obat dengan Biopolimer Semua molekul obat yang masuk dalam tubuh, kemungkinan besar berikatan dengan konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asan nukleat, mukopolisakari -da, enzim biotransformasi dan reseptor. Pengikatan obat oleh biopolimer dipengaruhi oleh bentuk konformasi molekul obat dan pengaturan ruang dari gugus-gugus fungsional senyawa obat. Interaksi obat dapat berupa:(1) Interaksi tidak khas dan (2) Interaksi khas.




3)        Interaksi tidak khas adalah interaksi yang hasilnya tidak menghasilkan efek yang berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul obat maupun biopolimer. Interaksi ini bersifat reversibel (terpulihkan) dan tidak menghasilkan respons biologis. Contohnya : Interaksi obat yang hanya merubah lingkungan fisika-kimia dari struktur badan (protein jaringan , asam nukleat , mukopolisakarida , air dan lemak) , misalnya : anestetik umum merubah struktur air didalam otak diuretik osmotik merubah tekanan osmotik dalam ginjal .

4)        Interaksi khas :adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal yang dapat diamati sebagai respons biologis.


4.  Efek samping obat obatan kimia

a.      Makan saat tidur (mengigau)
Beberapa jenis obat insomnia memang bisa membantu datangnya kantuk. Tetapi, tak sedikit pengguna obat ini yang mengeluhkan kebiasaan aneh, seperti berjalan saat tidur, makan, bahkan berhubungan seks sambil tertidur. 
b.     Sulit tidur
Obat penurun kolesterol golongan statin pada beberapa orang bisa menyebabkan efek samping kesulitan tidur.




c.     Sering buang gas
Ada obat penurun berat badan yang memiliki efek samping tidak nyaman, yakni menyebabkan sering buang gas, tinja berlendir, hingga diare. Obat tersebut memang cukup efektif mencegah penyerapan lemak di usus, tetapi jika kita banyak mengasup makanan berlemak maka efeknya adalah diare dan tinja bercampur lemak.
d.     Sidik jari hilang
Seorang pasien kanker yang mengonsumsi obat jenis capecitabine dilaporkan mengalami efek samping langka berupa hilangnya sidik jarinya. Hal itu diketahui ketika ia sedang diperiksa bagian imigrasi di bandara. Efek samping aneh lainnya yang mungkin timbul dari obat tersebut adalah kulit menjadi sangat halus, perdarahan, serta borok di kulit. Menurut dokter, begitu obat tersebut dihentikan, biasanya sidik jari akan kembali lagi.
e.     Indera penciuman terganggu
Obat resep Vasotec yang biasa dipakai untuk mengontrol tekanan darah dan gagal jantung diketahui menyebabkan efek samping berupa hilangnya kemampuan indera penciuman.
f.       Mimpi buruk
Merokok merupakan faktor risiko penyakit kronik yang bisa dihindari. Salah satu obat untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini, yakni Chantix, terbukti cukup efektif tetapi menyebabkan beberapa efek samping. Pengguna obat ini mengeluhkan gangguan insomnia serta jika mereka tertidur, mereka akan mengalami mimpi buruk.




g.      Penglihatan menjadi biru
Seorang pria di Inggris yang kerap menggunakan obat anti-impotensi Viagra mengaku pandangannya menjadi biru setelah menenggak obat ini. 
h.     Gairah seks meningkat
Sindrom kaki tidak mau diam (restless leg syndrome) memang bisa membuat tidur tak nyenyak. Salah satu obat untuk mengatasinya yakni Mirapex, yang juga dipakai untuk mengobati parkinson ternyata menyebabkan efek samping pada mental. Beberapa pasien yang minum obat ini mengaku adanya dorongan untuk berjudi, makan, hingga gairah seks meningkat. 
i.       Tinja hitam
Beberapa jenis obat, terutama untuk mengatasi rasa panas di dada dan diare, ternyata memiliki efek samping yang aneh tetapi tidak berbahaya. Setelah mengonsumsi obat ini, pasien bisa mengalami lidah terasa tebal dan menghitam serta tinjanya berwarna kehitaman.









BAB 2
A. Imunomodulator,Imunostimulator,Imunosupersiva, Kortikosteroid dan Antibiotika .
1.  Imunomodulator
Imunomodulator adalah substansi yang digunakan yang mempengaruhi sistem imun,. Secara umum ada dua kategori imunomodulator berdasarkan efeknya yaitu immunosuppressan and immunostimulator. Mereka mempunyai kemampuan untuk meningkatkan respon imun atau perlindungan terhadap patogen atau tumor (Alamgir dan Udin, 2010). Imunomodulator, juga di sebut biological recponse medifiers, adalah zat-zat yang mempengaruhi reaksi biologis tubuh terhadap zat zat asing. Fungsi sistem imun dapat di stimulasi (imunostimulator) maupun di tekan (imunosupresiva).
2.  Imunostimulator
Imunostimulator adalah bahan yang dapat meningkatkan kerja komponen komponen sistem imun. Sistem imun terdiri atas imunitas nonspesifik dan spesifik. Kedua sistem imun bekerja sama dalam mempertahankan keseimbangan badan. Penyembuhan infeksi akan lebih cepat bila fungsi sistem imun tubuh ditingkatkan. Berbagai bahan asal tanaman dapat memacu fungsi berbagai komponen sistem imun nonspesifik (fagosit, sel NK) dan sistem imun spesifik (proliferasi sel T, sel B yang memproduksi antibodi) serta produksi sitokin sehingga dapat digunakan dalam klinik sebagai ajuan untuk meningkatkan penyembuhan berbagai penyakit infeksi (Baratawidjaya, 2006 ; Anderson, 1999).
Imunostimulator secara tidak langsung berkhasiat mereaktivasikan sistem imun yang rendah dengan meningkatkan respon imun tak spesifik antara lain memperbanyak limfo-T4,NK – cellsdan makrofag di stimulasi, juga pelepasan interferon dan interleukin. Sebagai efek akhir dari reaksi kompleks itu zat asing dapat di kenali dengan di musnahkan.pada sel sel tumor ekspresi antigen transplantasi diperlukan olehnya, sehingga  lebih mudah di kendalikan oleh TNF dan sel selnya cytoksin. Obat obat stimulator yang kini di gunakan dalam terapi adalah vaksin BCG,limfokin (interferon, interleukin, dan levamisol.
a.     Imunostimulator pada terapi alternatif
Terapi alternatif untuk menstimulasi ketahanan imun banyak menggunakan sediaan nabati echinasea,ginseng, bawang putih,flavonoida dan ubi quinon juga kesediaan kelenjar kacangan. Echinasea adalah tumbuhan pertama yang di buktikan secara ilmiah stimulasinya terhadap terhadap sistem imun . penelitian dari dekade terakhir yang menghasilkan penemuan bahwa amasih banyak tumbuhan lain yang mengandung zat-zat alamiah dengan sifat stimulasi sistem tangkis aspesifik. Bioflafonoida , banyak imunosupresif alamiah yang termasuk kelompok (iso) flavon, yang terdapat di kebanyakan sayur sayur dan buah buahan . flavon penting adalah genistein (dalam kedele) dan quercetin dengan efek anti tumor dan anti oksidans kuat.



b.     Zat zat tersendiri
1)   Vaksin BCG (Bacillus calmette guenin)
2)   Interferon alfa, interferon gamma  
3)   Interleukin (IL-2)
4)   Levamisol
5)   Tingtur echinacea
6)   Ubiquinon
7)   Preparat thymus
3.  Imunosupresiva

Imunosupresiva adalah zat zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem imun tersebut. Titik kerjanya dalam proses imun dapat berupa penghambatan transskripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon imun di perlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensisi limfosit yang dapat di hambat pula oleh efek sitostasis langsung. Lagi pula T-cells bisa di nonaktifkan atau di musnahkan dengan pemberian antibodi terhadap limposit. Imunosupresiva banyak di gunakan untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi organ, karena tubuh membentuk antibodi terhadap sel sel asing yang diterimanya. Untuk mencegah transplantat terus menerus di berikan :
a.        Kortikosteroida
b.        Azatioprin,siklofosfamida, atau mycofenolat.
c.        Siklosporin-A dan tacrolimus
d.        Limfisitimunoglobulin (lymfoglobulin)


 Infeksi terkait sindrom hemophagocytic merupakan komplikasi, yang jarang fatal infeksi sistemik. Hal ini terjadi paling sering pada pasien immunocompromised berhubungan dengan infeksi virus tetapi spektrum kondisi telah diperluas untuk mencakup hampir setiap jenis patogen menular, keganasan dan terapi imunosupresif . Kami menyajikan tiga pasien anak dengan riwayat klinis yang serupa dari pansitopenia, hepatosplenomegali, dan kegagalan hati akut, dan mendiskusikan temuan otopsi.
Zat – zat tersendiri
a.    Siklosporin (sandimmun, neonoral)
Endecapeptida siklis ini (1983) di peroleh dari fungsi tolypocladium inflatum dan terdiri dari 11 asam amino.bersifat imunosupresife istimewa dengan jalan menghambat secara spesifik respon imun seluler. Plorifelasi T-hipercell cytotoxy cells di ham bat secara selektif dan refersibel. Juga menghambat produksi atau pelepasan IL-2 dan banyak limfokin lain. Produksi limfo-T spresorcells justru di stimulasi. Tidak berkhasiat myelosupresife.
          Siklossporin terutama di gunakan berkat sifat sifat ini pada transplantasi organ atu sumsum untuk profilakse dan penangannan reaksi penolakan.siklussporin dapat di kombinasi dengan kortikoida atau imunosupresifa lain dengan maksud mengurangi metrotoksisitasnya. Efek samping utamanya adalah nefrotoxisitas yang tergantung dari dosis dengan turunnya nilai kreatinin (refersibel).





b.   Tarcolimus (prograf) senyawa makrodida ini di ekstasi dari jamur strepstomyces tsukubaeresis (1993) khasiat dan mekanisme imunosupresife nya sama dengan siklus sporin,tetapi ca 50X lebih kuat dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu untuk prolifelasi cells-T juga bersifat sangat lifofil sama efektifnya dengan siklos sporin pada transplantasi hati,mjantung,paru-paru dan ginjal. terutama di gunakan bersama kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping berupa toxisitas bagi ginjal dan syaraf.
c.    mycofenolat-mofetil (cellcept)
obat terbaru ini (1996) adalah produk dengan khasiat menekan perbanyakan khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenase yang di perlukan untuk sistese urinnya (DNA atau RNA). ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut setelah transplantasi ginjal. Lagi pula efeksampingnya lebih sedikit resosinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera di rubah menjadi asam mysofenolat aktif.ekskresinya berlangsung melalui urine sebagai glukoronidanya (in-aktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis.












4.  Kortikosteroid

adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat bertahan menghadapi perubahan lingkungan daninfeksi. Hormon anak ginjal berkhasiat sebagai anti radang,imunosupresif dan anti alergis. Kedua efek terakhir untuk sebagian berhubungan dengan kerja anti radangnya, dan terutama nampak pada reaksi imun di jaringan. Misalnya migrasi cells dan aktifitas fagosytosis dari makrofag di kurangi. Juga jaringan limfatis di rombak, dimana limfosit-T dan –B berperan pembentukan antibodi hanya di tekan pada dosis amat tinggi.
Hormon kortikosteroid terdiri dari 2 sub-jenis yaitu hormon jenis glukokortikoid dan hormon jenis mineralokortikoid. Keduanya memiliki pengaruh yang sangat luas, seperti berpengaruh pada perubahan lintasan metabolisme karbohidrat, protein dan lipid, serta modulasi keseimbangan antara air dan cairan elektrolit tubuh; serta berdampak pada seluruh sistem tubuh seperti sistem kardiovaskular,muskuloskeletal, saraf, kekebalan,dan fetal termasuk mempengaruhi perkembangan dan kematangan paru pada masa janin.Pada sistem endokrin, kortikosteroid mempengaruhi aktivitas beberapa hormon yang lain. Misalnya mengaktivasi hormon jenis katekolamin dan menstimulasi sintesis hormon adrenalindari hormon noradrenalin, atau pada kelenjar tiroid, kortikosteroid menghambat sekresi hormon TSH dan menurunkan daya fisiologis  tiroksin. Aktivitas hormon GH jugaterhambat meskipun pada simtoma akromegali, kortikosteroid justru meningkatkan sekresi hormon GH dengan keberadaan hormon ACTH. Pada tubuh dalam masa perkembangan, terapi hormon kortikosteroid atau simtoma hiperkortisisme dapat menyebabkan pertumbuhan seorang anak terhenti sama sekali, sebagai akibat dari penurunan kematangan epiphyseal plates dan pertumbuhan tulang panjang. Dengan konsentrasi yang lebih tinggi, kortikosteroid akan menghambat sekresi hormon LH pada kelenjar gonad yang seharusnya dilepaskan selgonadotrop sebagai respon atas stimulasi hormonal. Pada sistem kardiovaskular, kortikosteroid memberikan efek pada respon miokardial, permeabilitas pembuluh darah kapiler dan pola denyut pembuluh darah arteriol.Pada jaringan otot, kortikosteroid dengan konsentrasi yang setimbang, diperlukan bagi metabolisme pemeliharaan.
 Berubahnya kesetimbangan tersebut dapat menyebabkan berbagai kelainan, misalnya peningkatan  aldosteron  akan menyebabkan simtoma hipokalemia  yang membuat otot menjadi tidak bertenaga, sedangkan  kadar  glukokortikoid  tinggi  akan menyebabkan pengaruh berupa degradasi pada otot melalui lintasan katabolisme protein. Kortikosteroid juga berdampak pada sistem saraf secara tidak langsung .
Adanya peningkatan eksitabilitas  otak pada simtoma hiperkortisisme dan setelah terapi mineralokortikoid, lebih disebabkan oleh ketidak setimbangan elektrolit daripada perubahan konsentrasi sodium.







5.  Antibiotic

Antibiotic adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalahbakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup.
Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan Setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.

Daftar Pustaka



0 komentar:

Posting Komentar